26 Desember 2011

Menyelamatkan Nilai Ibadah

 Oleh : Duden Rohmat

Ibadah, sebuah kata yang tak asing bagi pendengaran kita yakni sebuah kata yang mengekspresikan ketundukan dan kepatuhan pada sang pencipta. Tidak ada satupun agama di dunia ini, baik agama samawi (agama berdasarkan wahyu) ataupun agama ardhi (agama hasil budaya) yang tidak terlepas dari ritual peribadahan karena semua agama meyakini adanya sesuatu yang maha dalam segala perkara.
    Islam sebagai agama wahyu yang merupakan agama pelengkap dari ajaran agama sebelumnya sekaligus sebagai  agama pamungkas yang dibawa oleh nabi terakhir Muhammad saw, mengajarkan dan membimbing manusia dalam praktek peribadahan kepada sang Khalik melalui petunujuk  al-Quran dan bimbingan Rasulullah yang terwujud dalam sunnahnya. Ibadah yang tanpa dasar petunjuk dan tidak bersesuaian dengan contoh dari Rasul adalah batil (tertolak) bahkan dapat dikatakan bid'ah, sebagaimana sabda nabi :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (البخاري)
“barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak termasuk urusan kami (diperintahkan) maka amalnya itu tertolak” (H.R  Al-Bukhari)
    Dengan demikian urusan ibadah itu bukan urusan aqliyyah (akal) ataupun hissiyyah (perasaan) akan tetapi urusannya adalah ada perintah atau contoh dari Rasul. Sehingga ada qaidah ushul mengungkapkan “pokok asal dalam ibadah itu adalah buthlan/mamn'u (batal/terlarang) sehingga ada dalil yang menunjukan perintahnya.”
    Ibadah dalam kategorinya terbagi pada dua bagian, yakni: ibadah mahdhoh dan ibadah ghoir mahdhoh. Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang ketentuannya sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik dari segi waktu, tempat dan kaifiyatnya (tatacaranya) seperti shalat, shaum, zakat dan haji semuanya sudah ditetapkan aturannya oleh Allah dan RasulNya, maka akan sangat beresiko ketika kita melaksanakan ibadah mahdhoh tapi dalam prakteknya tidak bersesuaian dengan yang “dipesan” oleh Allah dan Rasul-Nya baik dari segi waktu, tempat ataupun kaifiyyat pelaksanaannya. Oleh karenanya dalam urusan ibadah mahdhoh ini kita mesti selektif dalam pelaksanaannya dengan cara mengetahui sumber perintahnya dan memahami isyarat-isyarat yang diungkapkan oleh Rasulullah dalam sunnahnya. Sebagai contoh ketika kita hendak melaksanakan shalat maka pelaksanaannya itu harus sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasul, sabdanya:
صلوا كما رأيتموني اصلى ( رواه البخاري)  
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat (H.R al-Bukhari)

    Semtara ibadah dalam kategori kedua yakni ibadah ghoir mahdhoh yaitu suatu ibadah yang tidak terikat waktu, tempat juga kaifiyyatnya  dalam pelaksanannya akan tetapi tetap ada dasar perintahnya, dalam ibadah ini kita diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengekspresikan bentuk atau wujud dari ibadah tersebut seperti halnya perintah berbuat kebajikan, menyantuni anak yatim, fakir miskin, shodaqoh, berbuat baik pada kedua orang tua dan sebagainya.
    Dengan demikian maka dalam beribadah itu haruslah berdasarkan ilmu sebagai pijakan dasarnya sehingga ibadah yang kita laksanakan tepat pada waktunya, tempatnya dan kaifiyatnya dalam kaitannya dengan ibadah mahdhah, juga sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Maka akurasi praktek dalam ibadah itu menjadi sesuatu yang mutlak dengan yang dicontohkan oleh rasulullah , paling tidak kita mampu mendekati apa yang dicotohkan kalau dikatakan sulit untuk sama persis dengan prakteknya rasul. Apabila ibadah yang kita laksanakan mampu mendekati ke arah sana dengan bekal ilmu yang kita miliki, maka keadaan yang sudah pasti ibadah yang kita laksanakan harus menumbuhkan nilai tepat guna/Atsar (meninggalkan bekas). Atsar yang pertama berupa hubungan vertikal secara individu yakni penilaiaan dari Allah sebagai Khaliq yang patut dan hanya satu-satunya yang wajib disembah, berupa penganugrahan gelar muttaqien dan pemberian reward (pahala) berupa rahmat yang terwujud dalam bentuk syurga, sebagaimana firman-Nya dalam surat Luqman ayat: 8 :
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيم
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka syurga-syurga yang penuh kenikmatan” Atsar yang kedua berupa hubungan horizontal secara sosial-interaksi dengan masyarakat umat manusia yang tergambar dalam wujud solidaritas atau kepedulian terhadap sesama makhluq, sehingga Allah swt memberikan penekanan yang sangat keras bagi orang-orang yang mengaku beragama tetapi tidak respek terhadap kondisi sosial, dalam surat al-Ma’un diungkapkan :
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
1. tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. orang-orang yang berbuat riya,
7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

    Kesimpulan, ibadah yang biasa kita laksanakan hendaknya kita perhatikan terlebih dahulu dalil-dalil yang melandasinya sehingga dapat sesuai dengan aturan al-Quran dan as-Sunnah dan mampu memberikan nilai terhadap dampak kehidupan secara pribadi juga kehidupan secara sosial.  Allahu’alm..


0 komentar:

Posting Komentar